Belakangan kita melihat bahwa kata hijrah identik dengan tren baru para milenials muslim. Hijrah menjadi sesuatu yang asyik, seru dan keren. Sekira dua tahun lalu, bahkan sampai digelar sebuah acara bertajuk hijrah fest di gedung megah Jakarta Convention Center. Acara ini kemudian dihadiri begitu banyak pengunjung dari berbagai penjuru ibukota dan daerah. Bahkan tak ketinggalan para artis muda beramai-ramai mendeklarasikan diri meninggalkan gemerlap dunia selebritas kepada dunia yang penuh dengan tampilan relijius termasuk kajian Islam. Apa ini salah? Jelas tidak. Fenomena ini adalah hal positif dan perlu terus kita syukuri, bahwa didalamnya ada variabel positif dan negatif, itu jamak dalam sebuah tren, akan saya bahas pada tulisan yang lain.
Hijrah jika ditarik dari akar kata berasal dari bahasa Arab, dengan kata dasar ha’, jim dan ra’ (hajara, yahjuru, hajran) yang berarti memutuskan hubungan. Di dalam Al-Qur’an begitu banyak ayat yg memuat kata tersebut. Pada Al-Qur’an surat al Anfal ayat 74 dan at Taubah ayat 20, secara gamblang kaum mukminin mendapat perintah untuk melakukan hijrah dan jihad dari Allah.
Sebelum ada perintah hijrah ke Madinah, para sahabat mendapatkan perintah untuk hijrah ke Habasyah/Ethiopia. Hal ini guna menghindari intimidasi dari suku Quraisy. Waktu berjalan kemudian rupanya keadaan tidak segera membaik maka perintah hijrah kedua pun disampaikan oleh Nabi yaitu hijrah ke Yastrib yang kemudian berganti nama menjadi Madinah.
Teknisnya memang perjalanan hijrahnya begitu berat. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk seluruh kaum muslimin berpindah secara geografis dari kota Mekah ke kota Yastrib. Tapi memang, jauh lebih lama dari itu, tiga belas tahun sebelumnya, Nabi melakukan penetrasi sosial dg sistemik, di mana Islam menjadi the of life, jalan hidup bagi setiap manusia. Kemudian, melalui hijrah, masyarakat itu bergerak beriringan menuju sebuah “negara”. Nabi telah membimbing sekaligus melatih para sahabat selama tiga belas tahun dengan Islam yang bukan hanya sebagai sebuah nilai tapi juga sistem.
setelah di Yastrib, nabi menerapkan pondasi-pondasi dalam menegakkan sebuah negara. Mulai dari membangun infrastruktur untuk konsolidasi para aristokrat, mempersaudarakan berbagai komunitas, pertahanan negara dg konsep jihad sampai pada kesepakatan perjanjian formal yg disebut dengan piagam Madinah. Maka tak heran jika hanya dalam waktu beberapa tahun saja, Madinah kemudian menjadi negara yg disegani dari seluruh jazirah Arab bahkan makin meluas sampai ke Tiongkok, Eropa Timur dan Nusantara di era Khulafaur Rasyidin.
Maka, memaknai hijrah dengan sekedar komunitas hijaber, niqab, jenggot, dan celana cingkrang ditambah dengan koleksi busana muslim dengan brand-brand mahal bagi saya adalah menyempitkan makna hijrah baik dari kata maupun sejarahnya. Hijrah lebih kepada sebuah pergerakan kolektif dari komunitas baik menuju sistem sosial politik yang stabil dan menjadi payung bagi banyak pihak.
Saat ini hijrah harus bermakna kepada bagaimana menemukan solusi untuk berbagai masalah yang dihadapi dunia. Bangsa besar ini sudah semestinya menemukan arah untuk manjadi bagian dari solusi masalah dalam isu global, baik energi, air, makanan, militer, dan perang dagang tentunya. Allohu’alam.
“Sebuah episode baru dalam sejarah telah dimulai. Sebuah gerakan telah berkembang menjadi sebuah negara. Sebuah negara telah bergerak menuju peradabannya. Sebuah agama telah menemukan orang-orangnya, setelah itu mereka akan menancapkan bangunan peradaban mereka.” (Anis Matta, Dari Gerakan ke Negara).
Penulis : wahyuagungpp (penikmat kopi dan tempe mendoan)